Selasa, 21 April 2015

KARAKTERISTIK DAN PRINSIP DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

KARAKTERISTIK DAN PRINSIP DASAR
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Manajemen Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. H. Fatah Syukur, NC. M.Ag.














Disusun Oleh:
Wirda Nurfitriana                   (123311040)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



I.             PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini manajemen sebagai ilmu begitu populer sehingga banyak kajian yang difokuskan pada manajemen baik berupa pelatihan, seminar, kuliah, maupun pembukaan program studi. Program studi manajemen meliputi manajemen ekonomi, manajemen sumber daya manusia, manajemen pendidikan, dan sebagainya.
Awal mulanya, tema manajemen hanya populer dalam dunia perusahaan atau bisnis. Kemudian, tema ini digunakan dalam profesi lainnya, termasuk oleh pendidikan, baik itu pendidikan umum maupun pendidikan Islam (keagamaan).
Optimisme dalam mengembangkan Sekolah/Madrasah Model sebagai bentuk upaya meningkatkan mutu pendidikan, selain implementasi melalui peningkatan fasilitas belajar juga dilakukan dengan meningkatkan manajemen. Dengan begitu, manajemen dijadikan resep dalam mengatasi masalah dan kemudian mengembangkan lembaga pendidikan, khususnya dalam konteks ini, lembaga pendidikan Islam (madrasah).[1]

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana karakteristik manajemen pendidikan Islam?
B.     Bagaimana prinsip dasar manajemen pendidikan Islam?

III.       PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam
Manajemen pendidikan Islam adalah suatu proses penataan/pengelolaan lembaga pendidikan Islam yang melibatkan sumber daya manusia muslim dan non manusia dalam menggerakkannya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara efektif dan efisien.[2]
Pembahasan manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum muslimin, ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum. Maka pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai berikut.
1.      Teks-teks wahyu baik Al-Qur’an maupun hadits yang terkait dengan manajemen pendidikan.
2.      Perkataan-perkataan (aqwal) para sahabat Nabi maupun ulama dan cendekiawan muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan.
3.      Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
4.      Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam.
5.      Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis; perkataan-perkataan para sahabat Nabi, ulama, dan cendekiawan muslim sebagai sandaran rasional; realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam sebagai sandaran empiris; sedangkan ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan sebagai sandaran teoritis. Jadi, bangunan manajemen pendidikan Islam ini diletakkan di atas empat sandaran, yaitu sandaran teologis, rasional, empiris, dan teoritis.
Sandaran teologis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran pesan-pesan wahyu karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional menimbulkan keyakinan kebenaran berdasarkan pertimbangan akal-pikiran. Sandaran empiris menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan data-data riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data sekaligus serta telah dipraktikkan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.[3]
Selanjutnya, penerapan manajemen pendidikan Islam dalam pengelolaan lembaga pendidikan juga menghadapi berbagai kendala/hambatan, baik yang bersifat politis, ekonomik-finansial, intelektual, maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
1.      Ideologi, Politik, dan Tekanan (Pressure) Kelompok-Kelompok Kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang berstatus negeri, acap kali terjadi pertentangan ideologi antarorganisasi sosial keagamaan utamanya, misalnya antara Muhammadiyah dan NU, atau antarorganisasi kemahasiswaan, terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM, atau IMM dengan PMII. Lantaran pertentangan-pertentangan ini, akhirnya politik kepentingan memasuki arena lembaga pendidikan dengan memberikan tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Yahya Umar, pernah mencoba mengamati dan menyelami kehidupan kampus UIN, IAIN, maupun STAIN di seluruh Indonesia. Pengamatan tersebut akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna, bahwa di kalangan PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru civitas politika. Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena nuansa politik di kalangan dosen, mahasiswa, bahkan karyawan sangat dominan, mengalahkan nuansa akademik. Oleh karenanya, kegiatan di lingkungan kampus lebih mengarah pada gerakan-gerakan politik daripada pemberdayaan intelektual.[4]
Dengan demikian, menguatnya ideologi dari organisasi menyebabkan kecenderungan ini memasuki wilayah pendidikan. Alhasil, proses pendidikan yang semestinya diniatkan untuk membangun sumber daya manusia peserta didik agar pandai, berakhlak, dan terampil pada akhirnya justru bergeser karena mereka dibentuk untuk menjadi anak-anak yang militant dan fanatik dalam mengikuti organisasi sosial keagamaan. Kasus ini telah melenceng jauh dari substansi misi pendidikan Islam.
Berbagai kasus ideologi, politik, organisasi, dan tekanan-tekanan kelompok kepentingan tersebut sangat mewarnai lembaga pendidikan Islam negeri sehingga membuat lembaga pendidikan Islam negeri berbeda dengan lembaga pendidikan umum. Jika dilihat dari segi problem dan konsekuensinya, dibutuhkan strategi khusus untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.[5]  
2.      Kondisi Sosio-Ekonomik Masyarakat dan Animo-Finansial Lembaga
Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonomik rata-rata berada dalam kategori kelas menengah ke bawah. Ekonomi orangtua siswa lemah. Ini merupakan kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu kemajuan yang signifikan.
Ekonomi orangtua siswa yang lemah menyebabkan pendapatan keuangan pada lembaga pendidikan Islam sangat minim, sebab mayoritas kehidupan lembaga pendidikan Islam swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP, sumbangan uang gedung, dan iuran lainnya yang kesemuanya berasal dari orangtua siswa atau mahasiswa. Ketergantungan sumber keuangan yang hanya berasal dari siswa atau mahasiswa ini tergolong sumber keuangan yang lemah sekali. Sebab, mestinya sebuah lembaga pendidikan didukung sumber dana yang lebih kuat, misalnya donator tetap, pengusaha, pengembangan bisnis, dan lain-lain.
3.      Komposisi Status Kelembagaan dan Diskriminasi Kebijakan Pemerintah
Diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam ternyata bukan hanya terjadi pada lembaga pendidikan Islam swasta, tetapi juga pada lembaga pendidikan Islam negeri. Pada zaman Orde Baru, anggaran untuk empat belas IAIN di seluruh Indonesia sama dengan anggaran satu IKIP Negeri. Sekarang, zaman sudah berganti menjadi Orde Reformasi, tetapi saying kebijakan pemerintah tentang anggaran keseimbangan itu belum juga tereformasi. Anggaran untuk lembaga pendidikan Islam masih tetap jauh di bawah lembaga pendidikan umum, meskipun ada sedikit peningkatan. Hal ini berdampak negatif pada seluruh komponen lembaga pendidikan Islam, baik pada guru/dosen, siswa/mahasiswa, maupun fasilitas yang dibutuhkan untuk memajukan lembaga pendidikan Islam.
4.      Keadaan Potensi Intelektual Siswa/Mahasiswa
Di samping secara ekonomi siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan Islam berada dalam kategori kelas menengah ke bawah, secara intelektual, potensi mereka juga lemah. Rata-rata siswa/mahasiswa mendaftar di berbagai lembaga pendidikan Islam karena merasa tidak mungkin diterima di lembaga pendidikan umum yang maju dan terutama berstatus negeri. Sebagian dari mereka yang telah gagal masuk di lembaga pendidikan umum negeri kemudian memilih lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam menjadi tempat pelarian siswa/mahasiswa yang gagal masuk lembaga pendidikan umum negeri.[6]
5.      Keberadaan Motif Dakwah Pada Pendidirian Lembaga Pendidikan Islam
Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari bawah, berawal dari inisiatif tokoh-tokoh agama yang kemudian didukung oleh masyarakat sekitar. Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut dengan motif dakwah, upaya sosialisasi, dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat.
Dengan adanya motif dakwah tersebut, timbullah konsekuensi-konsekuensi yang menjadi akibat. Misalnya, lembaga tersebut didirikan asal-asalan dan tanpa melalui perencanaan matang untuk memenuhi berbagai komponen pendukungnya. Layaknya gerakan dakwah yang senantiasa berangkat dari bawah, dengan menggunakan pendekatan pahala dan konsep lillahi ta’ala sehingga terkadang mengabaikan kesejahteraan pegawai dan menerima semua pendaftar tanpa seleksi.[7]
Berdasarkan lima macam hambatan tersebut, maka karakteristik manajemen pendidikan Islam bersifat holistik, artinya strategi pengelolaan manajemen pendidikan Islam dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mepertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis. Secara detail, kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam yang dirumuskan haruslah:
1.      Dipayungi oleh wahyu (Al-qur’an dan hadits),
2.      Diperkuat oleh pemikiran rasional,
3.      Didasarkan pada data-data empirik,
4.      Dipertimbangkan melalui budaya, dan
5.      Didukung oleh teori-teori yang telah teruji validitasnya.[8]

B.     Prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam
Sebelum membahas mengenai prinsip dasar manajemen pendidikan Islam, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai prinsip-prinsip pengelolaan dalam manajemen.
1.      Prinsip Efisiensi dan Efektivitas,
Efisiensi dan efektivitas merupakan bagian dari prinsip-prinsip manajemen. Titik tolak pelaksanaan manajemen dalam organisasi memanfaatkan semua sumber, tenaga, dana, dan fasilitas yang ada secara efisien. Fungsi-fungsi manajemen dioperasionalisasikan dengan mempertimbangkan sarana dan prasarana yang seirama dengan keadaan dan kemapuan organisasi, artinya dengan menghemat biaya dan memperpendek waktu pelaksaan kegiatan, tetapi hasil yang diperoleh tetap optimal.[9]
2.      Prinsip Pengelolaan,
Manajer yang baik adalah manajer yang bekerja dengan langkah-langkah manajemen yang fungsional, yaitu merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengontrol. Dengan demikian, target yang dituju dengan mudah dapat dicapai dengan baik.
Perencanaan yang dilakukan berpijak pada visi dan misi yang jelas sehingga program-program yang dijadwalkan dibuat secara hierarkis atau sistematis dan mendahulukan skala prioritas sebagaimana mengatur dan menjadwalnya program jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Program jangka pendek dilaksanakan sekaligus sebagai awal dari program jangka menengah, sedangkan pelaksanaan program jangka menengah dilaksanakan sebagai awal menuju program jangka panjang. Dengan demikian, semua pelaksanaan program terdapat saling memengaruhi dan menunjang dalam mencapai target.[10]
3.      Prinsip Pengutamaan Tugas Pengelolaan,
Manajer adalah orang yang bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Internal artinya melaksanakan proses pengadministrasian semua aktivitas organisasi yang merupakan tugas utama manajer, sedangkan eksternal adalah pelayanan manajerial terhadap semua kepentingan public yang berkaitan dengan aktivitas manajemen di luar kelembagaan.[11]
4.      Prinsip Kepemimpinan yang Efektif
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak menyalahkan bawahan, melainkan mengingatkan dan menyarankan, demikian pula bawahan yang baik tidak pernah menggugat dan gusar kepada atasan, melainkan meluruskan dan menyadarkan sepanjang masih dalam konteks profesionalitas yang ada di atas aturan yang disepakati.
5.      Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja sama didasarkan pada pengorganisasian dalam manajemen. Semua tugas dan kewajiban manajer tidak diborong oleh satu orang, melainkan dikerjakan menurut keahlian dan tugasnya masing-masing. Dengan demikian, beban kerjanya tidak menumpuk di satu tempat, sedangkan ditempat lain tidak ada yang harus dikerjakan. Pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab seharusnya dipolarisasi berdasarkan prinsip profesionalitas sehingga kerja sama yang dibangun tidak berbelit-belit. Kerja sama diantara karyawan berjalan sinergis dan mempermudah pelaksanaan tugas organisasi.[12]
Kemudian Fayol mengemukakan sejumlah prinsip dasar manajemen, yatitu: pembagian kerja, kejelasan wewenang dan tanggung jawab, disiplin, kesatuan komando, kesatuan arah, lebih memprioritaskan kepentingan umum/organisasi daripada kepentingan pribadi, pemberian kontra persepsi, sentralisasi, rantai skalar, tertib, pemerataan, stabilitas dalam menjabat, inisiatif, dan semangat kelompok.[13]
Douglas merumuskan prinsip-prinsip manajemen pendidikan sebagai berikut:
1.      Memprioritaskan tujuan di atas kepentingan pribadi dan kepentingan mekanisme kerja.
2.      Mengkoordinasi wewenang dan tanggung jawab.
3.      Memberikan tanggung jawab pada personil sekolah hendaknya sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuannya.
4.      Mengenal secara baik faktor-faktor psikologis manusia.
5.      Relativitas nilai-nilai.[14]
Selanjutnya, contoh-contoh ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, maupun perkataan sahabat Nabi yang dapat dipandang sebagai prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam.
1.      Surah al-Hasyr: 18
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini memberi pesan kepada orang-orang yang beriman untuk memikirkan masa depan. Dalam bahasa manajemen, pemikiran masa depan yang dituangkan dalam konsep yang jelas dan sistematis ini disebut perencanaan (planning). Perencanaan ini menjadi sangat penting karena berfungsi sebagai pengarah bagi kegiatan, target-target, dan hasil-hasilnya di masa depan sehingga apapun kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dengan tertib.
2.      Perkataan (qawl) sayyidina Ali bin Abi Thalib
اَلْحَقُّ بِلَا نِظَامٍ يَغْلِبُهُ الْبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
“Kebenaran yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi”
Qawl sayyidina Ali ini menginspirasi pendidikan berorganisasi. Dari sisi wadah, organisasi memayungi manajemen, yang berarti organisasi lebih luas daripada manajemen. Akan tetapi, dari sisi fungsi, organisasi (organizing) merupakan bagian dari fungsi manajemen, yang berarti organisasi lebih sempit daripada manajemen.
3.      Hadits riwayat al-Bukhari
حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانِ حَدَّ ثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلٍّي عَنْ عَطَاءٍ عَنْ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا ضُيِّعَتِ الأَ مَا نَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَا نْتَظِرِ السَّاعَةَ
“(Imam al-Bukhari menyatakan) Muhammad bin Sinan menyampaikan (riwayat) kepada kami, Qulaih bin Sulaiman telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, Hilal bin ‘Ali telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari Atha’, dari Yasar, dari Abu Hurairah ra yang berkata: Rasulullah Saw bersabda: Apabila suatu amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. (Abu Hurairah) bertanya: Bagaimana meletakkan amanah itu, ya Rasulullah? Beliau menjawab: Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Hadits ini menarik dicermati karena menghubungkan antara amanah dengan keahlian. Kalimat “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya” merupakan penjelas untuk kalimat pertama: “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Hadits ini ternyata memberikan peringatan yang perspektif manajerial karena amanah berarti menyerahkan suatu perkara kepada seseorang yang profesional.[15]
4.      Hadits riwayat Ibnu Majah
حَدَّثَنَاالْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيْدِ الدِّمَشْقِيُّ. حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ سَعِيْدِ بْنِ عَطِيَّةَ السَّلَمِيُّ. حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ: أَعْطُوْا الأَ جِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَ قُهُ
“(Ibnu Majah menyatakan), al-Abbas bin Walid al-Dimasyqiy telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, Wahb bin Sa’id bin ‘Athiyyah al-Salamiy telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, ‘Abd al-Rahman bin Zaid bin Aslam telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari ayahnya, dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah bersabda: Berikanlah gaji/upah pegawai sebelum kering keringatnya.”
Hadits tersebut berisi pendidikan penghargaan, dan dalam mengelola suatu lembaga, termasuk lembaga pendidikan Islam, penghargaan ini sangat kondusif untuk mewujudkan kepuasan pegawai yang selanjutnya mampu membangkitkan tanggung jawab dan kedisiplinan.
5.      Surah an-Nisa’: 35
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Intisari ayat ini adalah mekanisme manajemen konflik, model pengelolaan konflik menurut ayat ini ditempuh dengan cara melibatkan pihak ketiga sebagai mediator.
6.      Surah al-Shaff: 2-3
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ   uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs? ÇÌÈ  
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ayat ini menyentuh persoalan kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan yang sekarang popular dengan istilah konsisten. Sikap konsisten bagi manajer adalah suatu keharusan sebab dia adalah pemimpin yang dianut oleh bawahannya.[16]

IV.       ANALISIS
Pendidikan merupakan sebuah upaya untuk mengasah dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki setiap individu agar dapat bermanfaat bagi kehidupan. Di dalam Islam, pendidikan menempati posisi yang tinggi. Bahkan wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw adalah perintah untuk membaca. Oleh karena itu, agar lembaga pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang insan kamil, diperlukan suatu pengelolaan yang baik dalam lembaga tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa manajemen sedang dipertaruhkan demi kemajuan lembaga pendidikan Islam. Dengan pengertian lain, sedang ada upaya untuk menggalakkan manajemen pendidikan Islam menjadi kesadaran kolektif dalam memajukan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.
Apalagi lembaga pendidikan Islam sampai saat ini masih belum sepenuhnya dilirik masyarakat karena masih banyaknya hambatan-hambatan yang dihadapi lembaga. Tentunya untuk menghadapi hambatan-hambatan yang ada, diperlukan suatu pengelolaan yang baik dari semua warga sekolah/madrasah. Salah satunya adalah dengan memahami dan menerapkan semua unsur yang ada dalam manajemen pendidikan Islam. Penerapan unsur-unsur dalam manajemen pendidikan Islam dapat dilakukan apabila kita memahami bagaimana karakteristik dan prinsip dasar manajemen pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
V.          KESIMPULAN
Pembahasan manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum muslimin, ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum. Maka pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai berikut.
1.      Teks-teks wahyu baik Al-Qur’an maupun hadits yang terkait dengan manajemen pendidikan.
2.      Perkataan-perkataan (aqwal) para sahabat Nabi maupun ulama dan cendekiawan muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan.
3.      Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
4.      Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam.
5.      Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.
Karakteristik manajemen pendidikan Islam bersifat holistik, artinya strategi pengelolaan manajemen pendidikan Islam dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mepertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis. Secara detail, kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam yang dirumuskan haruslah:
1.      Dipayungi oleh wahyu (Al-qur’an dan hadits),
2.      Diperkuat oleh pemikiran rasional,
3.      Didasarkan pada data-data empirik,
4.      Dipertimbangkan melalui budaya, dan
5.      Didukung oleh teori-teori yang telah teruji validitasnya.
Berdasarkan contoh-contoh ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, maupun perkataan sahabat Nabi, prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan Islam, yaitu adanya perencanaan, pengorganisasian, seorang manajer/pengelola lembaga pendidikan Islam harus amanah dan professional, pemberian penghargaan kepada pegawai yang berprestasi, adanya mediator/penengah setiap ada konflik dalam organisasi, dan prinsip dasar yang terakhir seorang manajer harus konsisten dalam setiap perkataan dan tindakannya.

VI.       PENUTUP
Demikianlah makalah ini, kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan pada khususnya pemakalah sendiri.





DAFTAR PUSTAKA

Engkoswari dan Aan Komariah. 2010 Administrasi Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta,
Fattah, Nanang. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fauzi, Imron. 2012. Manajemen Pendidikan Islam Ala Rasulullah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hikmat. 2009. Manajemen Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Qomar, Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam. Malang: PT. Gelora Aksara Pratama.
Sulistyorini. 2009. Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi dan Aplikasi. Yogyakarta: Teras.

 




[1] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: PT. Gelora Aksara Pratama, 2007), hlm. 2-4.

[2] Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 14.
[3] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,… hlm. 15-17.
[4] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,… hlm. 17-18.
[5] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,… hlm. 18-20.

[6] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,… hlm. 24.
[7] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,… hlm. 27.
[8] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam,... hlm. 21-29.
[9] Hikmat, Manajemen Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 41.
[10] Hikmat, Manajemen Pendidikan,…hlm. 42.
[11] Hikmat, Manajemen Pendidikan,…hlm. 43.
[12] Hikmat, Manajemen Pendidikan,…hlm. 43-44.
[13] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 12.
[14] Engkoswari dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung: CV Alfabeta, 2010), hlm. 91.
[15] Imron Fauzi, Manajemen Pendidikan Islam Ala Rasulullah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 70-72.
[16] Imron Fauzi, Manajemen Pendidikan Islam Ala Rasulullah,... hlm. 72-74.

3 komentar: